Small Pencil

Ketika Tuhan Tidak Nyata..

                 KETIKA TUHAN TIDAK NYATA, KEAJAIBANNYA NYATA



                Pagi itu terlihat begitu sejuk di Jakarta. Tidak tampak keadaan hiruk pikuk keramaian. Dengan cuaca yang sedikit mendung, karena sehabis hujan, Lea berdiri di tepi jalan untuk menunggu bis seperti biasanya. Hari ini adalah hari pertamanya untuk masuk universitas swasta. Universitas pilihan orang  tuanya yang tidak pernah dia dambakan. Dengan wajah yang kusut, Lea menaiki bis yang mencari penumpang sambil berlari. Di dalam, dilihatnya banyak orang dengan kesibukan masing-masing. Ada yang mendengarkan musik dari handphonenya, ada yang sedang menelepon, ada yang tertidur, ada yang hanya diam. Lea berdiri di bagian belakang bis karena tidak kedapatan tempat duduk.
                Dengan tergesa-gesa Lea mengeluarkan uang untuk membayar tarif bis yang dinaikinya karena dari kejauhan tampak kondektur yang sedang menagih sudah dekat dengannya. Lea pun mencari uangnya, namun uang receh yang disiapkannya di saku celananya jatuh. Ia pun panik dan menengok ke bawah dan sekelilingnya. Dilihatnya uang logam itu jatuh tepat di bawah kaki seorang nenek pengemis renta yang sedang meminta-minta di depannya.
                “Minggir nek, itu uang saya jatuh di kaki nenek,” ucap Lea.
                “ Boleh nenek ambil uang itu? Nenek belum makan malam tadi. Nenek lapar, nak,” jawab nenek itu.
                “Ahh, saya sedang buru-buru nek! Saya ga punya waktu untuk ambil uang lagi di dompet!” bentak Lea sambil menarik uang itu dari dekat kaki nenek itu. Nenek itu pun terjatuh.
                Dengan tergesa-gesa, Lea pun membayar ongkosnya dan langsung turun untuk masuk ke kampusnya.

...


                Dunia kampus, tidak seburuk apa yang dibayangkannya selama ini. Dia punya teman yang banyak sekarang. Namun, setidaknya kehidupan kampus memang membeda-bedakan. Dimana si pintar berteman dengan kutu buku, dan si bandel lebih nyaman berteman dengan yang sepikirannya. Dan Lea pun mendapatkan lingkungan yang kedua. Yang brutal dan pergaulannya tidak karuan. Waktu istirahat saja dimanfaatkan Lea dan teman-temannya untuk merokok di lingkungan kampus, tertawa terbahak-bahak, hingga bergosip membicarakan orang-orang yang melintas di depan mereka. Lea sadar betul kalau dia adalah seorang gadis. Tidak ada yang salah dengan gadis yang merokok. Lea hanya berpikir, pergaulannya standar, tidak mencolok dan itu lumrah. Ketika tidak ada yang merasa terganggu, apa yang harus dipikirkan? Toh dunia memang sudah kotor oleh polusi udara, tidak hanya rokok, bahkan asap kendaraan saja sudah merusak lingkungan.
                Hingga saat jam mata kuliah selanjutnya pada pukul 5 sore, Lea sudah tidak bersemangat. Teman-temannya mempengaruhinya untuk membolos di mata kuliah tersebut hingga waktunya pulang.
                “Le, cabut yok, kemana kek..” ajak Dewi.
                “Tau nih Le, kerumah gua deh yok, abis itu kita jalan deh. Clubbing? Gimana?” sambung Adi, pacar Dewi.
                “Aduh, tau deh, gua bingung.. Bokap nyokap gua rese nih, mereka nyuruh gua pulang cepat.. Basi, jamuran, langsung mati di kelabang-in deh gua dirumah,” jawab Lea.
                “Yah, masih aja kaku sama orang rumah. Jangan chicken gitu ahh. Yok ah cabut ke rumah cowok gua, lagi sepi disana, orang tuanya lagi di Spore. Nanti gua ajak teman gua deh cowok, ganteng kok, nanti juga lo naksir,” potong Dewi.
                “Ya udahlah ya, lama-lama banget tunggu, ada cowok cakep juga kan, lanjut!” ucap Lea menyutujui sambil tertawa.
                Sesampainya di rumah Adi, Lea langsung merebahkan diri di sofa. Dewi datang dengan membawa segelas air dingin untuknya dan Lea. Dengan cepat Lea menyambar minuman itu. “Mana ya cowok yang lo bilang? Penasaran.. Calling lah, panggil, suruh datang,”.
                “Hahaha.. Si Lea ga sabar nih bunny mau liat si Anton.. Gua telpon ya bun..” teriak Dewi.
                “Iya, suruh cepat datangnya ya.. Bilang malam ini kita mau keluar..” sahut Adi di kamar mandi.
                Dewi pun mencari kontak dengan handphone Adi. Dicarinya perlahan, sambil juga melihat takut kalau Adi punya nomor perempuan yang tidak dikenalnya. Dan, akhirnya! Nama Anton ada di kontaknya. Segera mungkin Dewi menelepon nomor Anton. Mereka bercakap-cakap cukup lama. Sesekali Dewi menyebut nama Lea, menyanjung Lea yang memang cantik. Setelah berdialog panjang, Anton pun mengiyakan.
                Tanpa sadar, jam menunjukkan pukul 10 malam. Waktunya Lea dan Dewi mandi. Mereka menggunakan kamar mandi yang berbeda. Lea di kamar mandi ruang tamu, dan Dewi mandi di kamar mandi Adi. Lea mempercepat mandinya. Dia keluar dan naik ke atas tangga untuk ke kamar Adi. Dari luar terdengar suara yang aneh. Desahan yang sering didengar Lea waktu dulu ia sering menonton film dewasa ketika SMA. “Wi.. Gua mau ambil baju, lo di dalam kan?”. Hampir menunggu sekitar 2 menit di depan pintu, tapi tidak ada jawaban, Lea pun membuka pintu dan mendapati kedua temannya sedang melakukan hubungan diluar nikah. Sontak Dewi dan Adi kaget.
                “Anak muda.. Anak muda.. Lanjutin sana, gua cuma mau ambil baju buat nanti,” kata Lea.
                “Sialan lo! Udahan ahh gua! Yuk bun, siap-siap!” bentak Dewi.
                Ketika mereka bertiga sudah siap, tepat jam 11 kurang, dari luar terdengar nama Adi dipanggil-panggil. Mereka bertiga mengintip, dan ternyata itu Anton. Lea tersenyum, Anton yang dibayangkannya tidak setampan apa yang dilihatnya. Adi pun keluar dan membukakan pintu untuk Anton. Lea dan Anton berkenalan. Dan mereka dengan cepat berangkat menuju klub malam.

...

                Terlalu ramai malam itu, klub tidak seperti biasanya. Memang, sedang ada event disana, dan sudah dipastikan, pengunjung pasti membanjir. Musik keras di setiap sudut, bahkan di toilet sekalipun masih terdengar. Teriakan dan bunyi peluit dimana-mana. Bau alkohol tercium sengit. Hentak kaki dan tarian malam a la streaper pun seakan menutup jalan untuk berpindah-pindah tempat. Baju-baju minim yang mungkin tabu bagi banyak orang di Indonesia, tampak jadi ajang menunjukkan kemolekan tubuh wanita-wanita. Bartender yang menunjukkan kebolehannya juggling di depan banyak orang. DJ yang berkeringat menunjukkan kepuasannya menghibur malam itu. Di sudut klub itu, di meja yang benar-benar remang, Lea dan teman-temannya duduk. Disana Lea sudah mabuk. Benar-benar mabuk hingga apa yang dilakukannya kadang terlihat tanpa dipikir. Ia memeluk Anton dengan muka yang terlihat lelah. “Gua haus ton, mau minum lagi.. Hehehe”. Anton menuangkan satu sloki martini dan diberikan kepada Lea. Ya, tidak lepas dari pikiran jahat, minuman itu bercampur dengan obat tidur.
                Lea pun menjadi sangat tidak sadar setelah minum minuman yang diberikan Anton, kepalanya sangat pusing. Penglihatannya tampak berkunang-kunang. Hingga ia terjatuh, tepat di tubuh Anton. Dewi dan Adi pun panik, sehingga mereka memutuskan untuk mengakhiri pesta gemerlap mereka di klub tersebut.

...

                 Sinar matahari mulai masuk lewat sela-sela tirai dikamar Adi. Terlihat seperti sedang memaksa Lea untuk membuka mata. Dia tertidur sangat pulas. Namun, sinar itu jatuh tepat di matanya. Dengan sedikit pusing, Dia membuka mata. Lea menjadi kaget ketika dia menemukan dirinya tidak memakai sehelai kain pun di badannya. Hanya berbalut selimut yang bisa menutup setengah badannya. Dia bingung. Kalang kabut mengikuti gaya aktris di film yang biasa dia tonton. Lea melihat ke sekeliling untuk mencari pakaiannya. Ia lupa dimana pakaiannya. Ia hanya menemukan pakaian yang dia ingat dikenakannya semalam. Pakaian Dewi yang sangat minim. Dengan gerakan cepat Lea bangun dan memakai baju itu.
                “Wi!! Wi!! Mana Anton?! Dewi!!” teriak Lea.
                “Dewi sama Anton udah pulang, berisik tau ga lo di rumah orang.. Pagi-pagi ribut aja..” jawab Adi.
                “Sialan lo ya! Ngapain aja si Anton semalam ke gua?!” bentak Lea.
                “Anton? Kita main bertiga kali.. Hahaha.. Mampus! Jadi cewek kok bego..” sahut Adi sambil tertawa licik.
                “Mati lo ya sama gua!!” teriak Lea lagi sambil berlari dan memukul Adi.
                “Masih untung lo gua kasih tempat tidur ya jalang! Keluar lo!!”
                “Dasar bejat! Sampah lo semua!!” sambil berlari keluar, Lea menangis.
                Dengan airmata yang sudah membasahi pipi, dan tampak menghitam bekas riasan di matanya, Lea berjalan terseok-seok menuju tempat menunggu bis di pinggir jalan. Dia naik, dan duduk sambil benar-benar terlihat bodoh dengan pakaian Dewi yang ia kenakan. Sampai ketika kondektur menagih ongkos, Lea hanya bisa meraung. Sudah pasti kondektur marah. Dia menyuruh Lea untuk turun, memaksanya hingga pakaian Lea sobek karena tersangkut pintu bis yang sudah rusak. Lea pun memaki kondektur bis yang sudah meninggalkannya. Lea benar-benar terlihat seperti orang tidak waras. Orang yang benar-benar depresi.
                Berjalan menyusuri jalan, Lea muntah dan muntah terus. Entah kenapa badannya tidak enak. Pikiran pun menjadi kacau. Mulai bercampur aduk. Takut, kecewa, marah. Ia terjatuh di pinggir jalan. Badannya kini benar-benar rapuh. Tidak kuat berdiri. Sambil mendongakkan kepalanya perlahan, ia melihat sebuah toko obat di pinggir jalan. Emosi yang terlalu memaksanya untuk berdiri, menahan semua sakit, menahan malu ketika semua orang mencuri pandangan untuk melihatnya. Tidak sedikit pula anak-anak kecil berlalu lalang mencemoohnya dan meludahinya. Benar-benar tidak ada yang tergerak untuk sekedar membantunya. Dengan berlari sambil terpincang-pincang, ia menuju toko obat itu. Seperti orang yang kehilangan akal, Lea mengacak-acak etalase hingga semua jatuh dan pecah. Ia mencari testpack. Setelah dapat, dia berlari keluar, kegirangan sambil meraung-raung. Mungkin ia sekarang benar-benar sadar, ia menguji testpack tersebut, namun kenyataannya lebih pahit dari tingkahnya yang memalukan diri sendiri. Hasilnya positive. Lea hamil. Kini ia benar-benar kacau. Seperti dikejar pintu neraka, pikirannya benar-benar belarian kemana-mana.
                Lea berjalan, sambil menangis, bahkan sambil tertawa terbahak-bahak. Dia linglung. Tak tahu arah mana yang harus dia tuju. Dia jatuh dalam keadaan yang tidak pantas. Keadaan yang membuatnya berpikir untuk menjadi manusia yang baru. Dia kembali terjatuh, tepat di lampu merah. Dia menangis. Dia mengangkat dagunya, melihat ke langit. Berdoa untuk Tuhan mengambil nyawanya. Meminta untuk mati. Mati dari kehidupan yang menghancurkan dirinya. Hingga pada akhirnya seorang wanita paruh baya menemukannya, dan mengantarnya ke kantor polisi yang berada tidak jauh dari situ.




...


                Lea kembali ke kehidupan lamanya, dirinya di kamar. Kamar yang damai yang mungkin pernah ada di hidupnya. Kamar yang dibuat khusus untuk dirinya, di sebuah rumah yang nyaman yang telah ia sia-siakan. Kehamilannya telah menghancurkan hidupnya. Orang tuanya memutuskan untuk memberhentikan studinya. Kini ia benar-benar terkurung hanya di kamar. Ia hanya menangis dan menangis setiap hari di sudut-sudut kamarnya. Memikirkan semua kebodohan yang ia perbuat. Sesekali ia menangis ketika melihat perutnya yang mulai membesar. Ia frustasi. Ia kehilangan akalnya. Keterpurukan meracuninya. Dia memukul-mukul perutnya. Hingga kadang terjadi pendarahan. Namun orang tuanya benar-benar malu untuk sekedar membukakan pintu kamarnya. Lea benar-benar terpasung dikamar. Terpenjara karena tidak ada yang memperdulikannya.
                Berkali-kali Lea mecoba memutuskan urat nadinya. Beberapa bahkan membekas hingga dagingnya keluar. Lea selalu berpikir kalau Tuhan jahat. Tuhan tidak ada. Asupan makanan dan susu bayi memang diberikan orangtuanya, tapi itu hanya sebatas membukakan pintu sedikit saja. Tuhan tidak adil, disaat dia butuh seseorang, bahkan orangtuanya malu melihat dirinya. Lea hancur.
                Tapi suatu malam, Lea berdoa. Ia bercerita bahwa ketidak adilan sedang dialaminya. Dia menangis. Dia bertanya kepada Tuhan apa harus dirinya bunuh diri? Dia benar-benar tidak percaya dengan hidupnya. “Tuhan, gua tau, gua memang orang bodoh.. Jalang, bahkan ga pantas disebut manusia.. Tapi apakah sekejam ini Lo kasih hukuman ke gua? Ambil gua sekarang! Gua mau mati Tuhan! Gua tau kalau Lo yang Punya dunia ini! Ambil gua! Ambil anak gua Tuhan! Gua ga kuat hidup seperti ini!!”
                “Diam kau!” teriak ibu Lea dari bawah kamarnya.
                “Gua ga kenal lo! Jangan ikut campur! Gua sendirian di dunia ini! Bunuh gua! Bunuh!!” sahut Lea keras sambil menangis dan berteriak. Terdengar suara langkah kaki cepat menaiki tangga. Pintu kamar terbuka.
                “Jaga mulutmu! Kamu ga sadar betapa kecewanya mama sama papa?! Betapa anak yang mama papa tunggu selama 4 tahun pernikahan ternyata hanya seorang penghancur keluarga?!” bentak ibu Lea sambil menampar Lea dengan airmata bercucuran.
                “Lo bilang gua penghancur?! Gua memang penghancur! Lo sama papa ga sayang gua! Gua ga butuh kalian!!”
                “Mama kira sebaiknya kamu di kamar ini sepanjang hidup kamu! Mama udah kasih cinta mama ke kamu! Apa balasannya?! Kamu bunuh mama perlahan-lahan! Kamu bunuh.. Mama..” sambil memeluk Lea, ibunya pun langsung berdiri dan membanting pintu kamar Lea dan menguncinya.
                “Inikah Tuhan yang Lo kasih ke gua?!” raung Lea.
                Pagi-pagi buta, masih gelap sekitar pukul 3 pagi, Lea terbangun. Dia merasakan sakit yang amat terasa sangat menyiksa di kepalanya. Pertengkaran semalam membuatnya tertidur dengan hati yang tidak enak. Lea benar-benar terlihat kusam. Luka di bagian nadi tangannya terlihat membusuk. Tapi ia masih memikirkan hal bodoh. Ia ingin dirinya hidup sendiri bersama anaknya kelak. Setidaknya ia berpikir kalau anak adalah anugerah. Ia membuka jendela, dan merayap keluar. Memanjat seperti kebiasaannya dulu ketika ia sering pulang malam. Memang dia ahli, tapi tidak dalam keadaan yang kacau. Dalam keadaan hamil. Ia kehilangan pijakan pertamanya. Ia jatuh walau tidak terlalu tinggi. Ia berteriak sekencang-kencangnya sebelum ia terjatuh dan kepalanya terantuk tanah yang sudah kering dibawah.

...

Membuka mata dengan pelan, samar-samar wajah orangtuanya terlihat sedang tertidur di kursi dalam kamar rumah sakit. Lea mulai mengangkat badannya. Melihat tangannya di infus. Lea merintih kesakitan.
                “Ma.., Pa..,” rintih Lea.
                “Lea.. Pa! Lea sudah bangun! Bangun Pa! Lea, kamu sudah sadar nak?” tanya ibu Lea sambil terus membangunkan papanya.
                “Gua kenapa? Kok bisa di rumah sakit?” tanya Lea balik.
                “Kamu jatuh dari lantai dua kamarmu nak, kamu coba keluar dari jendela.” terang ibu Lea. Ayahnya hanya bisa menunduk sambil menyeka airmata dengan lengan bajunya.
                “Terus anak gua gimana? Kenapa perut gua sakit banget?”
                “Lea.. Mama menyesal.. Mama salah..”
                “Gua tanya anak gua! Kenapa sebenarnya?!”
                “Kandungan kamu ga kuat.. Kamu keguguran.. Mama terpaksa ga tanya kamu dulu..”
                “Kalian tega! Kejam!”
                “Dengar mama dulu Lea..”
                “Gua ga mau dengar! Cukup sama apa yang kalian lakukan! Gua hanya punya anak gua! Sekarang harus terenggut?! Kalian pasti bohong!!”
                “Lea.. Mama sayang kamu.. Mama ga mau kehilangan kamu..”
                “Kenapa kalian ga bunuh gua aja sekalian?! Gua ga butuh hidup! Gua sendirian di dunia!!”
                “Lea.. Lea!!”
                Lea berusaha bangun meski ia tahu ita tidak akan kuat. Dia mencabut jarum infus di tangannya. Dia berlari sambil gemetar, menangis, dia mencari ruangan dokter. Dokter manapun yang harus ia temui, yang harus ia tanyakan. Hingga bertemu dengan seorang suster yang sedang berjaga pagi itu, dia mendorong suster itu. “Dimana..?! Dimana dokter sus? Dimana?”.
                Lea terjatuh. Belum sempat dirinya mendapat jawaban dari suster, dia memaksa dirinya berdiri. Tapi kakinya tidak kuat untuk berdiri. Dia meronta, menangis terisak-isak. Menyeret tubuhnya dengan memegang kursi tunggu di sepanjang lorong. Lea sudah kehilangan akal. Tuhan benar-benar mencobainya. Membuatnya sadar akan kehidupan yang salah. Lea mencoba bangkit untuk yang kedua kalinya. Kali ini dia kuat meski terus gemetar, dia berjalan ke ujung lorong. Melihat sebuah ruangan tempat keluar masuk suster-suster. Meski sudah beberapa suster memeganginya, dia teguh. Mendorong suster-suster itu. “Minggir! Gua mau anak gua!”. Lea berontak dan terus menangis. Mendobrak pintu yang dilihatnya, dan terjatuh di kaki seorang dokter yang kaget pintu ruangannya terbuka. “Lo kemanain anak gua?! Gua mau anak gua!”.
                “Maaf Lea, kami tidak bisa ambil resiko..”
                “Diam! Kalian hanya pembunuh bodoh! Bahkan kalian tidak bisa membunuh gua!!”
                “Maaf Lea, walaupun kami biarkan anak itu tetap hidup, dia akan menderita..”
                “Apa maksud lo! Tolong jelasin..! Gua mau anak gua!!”
                “Kamu terjangkit AIDS..”
                “...”
                “Iya, maafkan kami.. Kamu terjangkit AIDS, Lea..”
                “Gua bukan orang yang pantas hidup, kenapa kalian ga bunuh gua? Biarkan gua mati.. Gua mau mati..” tiba-tiba Lea jatuh pingsan.

...

5 tahun kemudian, Lea benar-benar hidup dalam kebahagiaan. Menjadi manusia yang baru. Dimana dia tersenyum dengan anak-anak. Lea kini membantu mengurus kegiatan kerohanian di sebuah perkumpulan anak-anak penderita kanker di daerah Lampung. Ia mencoba menata dirinya setelah semua yang telah dia lalui dengan kehancuran. Setelah kepergian orang tuanya yang tahun lalu meninggal akibat gagal ginjal dan jantung. Ia benar-benar hidup sendiri sekarang. Namun tidak lagi jika sudah menghibur atau mengajar kerohanian di perkumpulan. Dia tertawa lepas. Tersenyum tulus ketika anak-anak bermain walau penyakit ganas menyerang mereka. Walau mereka tahu kalau rambut mereka mulai rontok. Badan mereka yang makin lama kurus. Dan Lea sadar, sekarang merekalah kaca diri Lea. Lea sekarang kurus. Rambutnya sudah tipis. Virus AIDS sudah menggerogotinya.
                Hari-hari yang dilalui Lea sekarang hanya bercerita, dan menghibur anak-anak kecil. Selalu ada cerita dongeng atau berbagi kisah hidupnya kepada mereka. Tak jarang Lea menangis ketika sedang berada dengan anak-anak itu. “Anak-anak, kakak mau cerita..”. Seketika anak-anak berkumpul membentuk lingkaran dan duduk manis mendengarkan.
                “Kalian tau ga kalau Tuhan itu terlalu baik? Dia udah berhasil ciptakan manusia baru kayak kakak.. Sebelum kakak disini, kaka ga pernah merasakan bahagia loh.. Padahal kakak lebih kuat dari kalian.. Kakak padahal udah besar ya.. Haha..” cerita Lea sambil menitihkan setetes airmata.
                “Kakak dulu bandel, bahkan suka membangkang.. Kakak dulu ga punya Tuhan.. Kakak dulu bodoh.. Hehe.. Kakak pernah jalanin hidup yang paling buruk.. Kakak ga punya siapa-siapa.. Ga seperti kalian yang bisa ketawa sama teman-teman.. Kakak dulu sendirian.. Sampai kakak menyerah sama Tuhan, kakak nangis minta Tuhan berhenti cobain kakak.. Kakak belajar caranya beribadah.. Kakak sadar temuin Orang yang baik.. Namanya Tuhan.. Kakak selalu curhat sama Dia.. Tiba-tiba tahun kemarin, kakak kehilangan mama sama papa kakak.. Kakak disitu marah sama Tuhan.. Kakak kira cobaan dari Tuhan ga pernah usai buat kakak.. Padahal kakak udah rapuh.. Tapi sampai suatu saat, kakak menemukan kalian.. Kakak tersenyum lagi.. Kakak setiap malam selalu berterima kasih sama Tuhan selama 1 tahun ke belakang.. Kakak punya kalian.. Kakak punya Tuhan.. Kakak selalu berpikir kalau kakak ga ada, mungkin orang sekitar kakak ga ada yang rugi, tapi kakak diingatkan Tuhan.. Dia bilang kalau Dia sayang kakak.. Persis kayak kata mamanya kakak dulu.. Makanya kalian jangan pernah berhenti berdoa ya.. Jangan pernah menyerah.. Kakak sayang kalian..” Lea tersenyum dan kemudian menangis. Anak-anak memeluk Lea erat.
                Malamnya Lea beranjak tidur, dia berdoa. Memanjatkan syukur ketika ia masih bisa melihat anak-anak tersenyum kepadanya, memeluknya, menciumnya hari itu. “Tuhan, mungkin ini hadiah terindah dariMu, ketika aku bukan apa-apa, kau berikan aku sesuatu.. Ketika aku kehilangan anakku dulu, Kau berikan aku anak-anak yang baik.. Kini aku tau, kenapa Kau menciptakan kami berbeda.. Karena Kau ingin umatMu sadar akan diriMu, sadar akan kebahagiaan yang selalu ada jika kami meminta.. Terima kasih Tuhan.. Ini malam yang indah untukku meminta kepadaMu.. Aku ingin Kau bangunkan mereka yang jatuh seperti Kau angkatku dulu.. Aku ingin hidup seperti ini.. Hidup sekali lagi.. I Love You, Lord..”. Lea pun tertidur tanpa sadar ia meneteskan air mata. Dan mungkin air mata terakhir. Karena ketika pagi, anak-anak menemukan Lea tidak sadar dan tidak bangun. Nafasnya tida berhembus lagi. Namun, terlihat air mata yang membasahi pipi Lea, dengan senyum yang tulus. Tampak seperti berkata, “Aku telah hidup, dan kini ku diangkat.. Semangat anak-anak.. Jangan pernah menyerah..

Write with tears..
Regards,


Rony Max Steven

7 komentar:

  1. wah hebat nih ceritanya , keren :D
    oia coba deh buka blog ini http://krakatau-kid.blogspot.com/ , semoga bermanfaat juga ya :)

    BalasHapus
  2. bagus ini ceritanya ron, tapi gue bingung hehe emang skelai having sex bisa langsung hamil? apa ngga perlu ada proses/waktu/alur dulu....gt? hehe
    overall, gue suka! :)

    BalasHapus
  3. hahaha itu dia, gua salah disitu, tapi gua mau angkat intinya aja kok, kan intrik ceritanya justru waktu dia tau hasilnya positive tan bukan alur dia hamil hehe

    BalasHapus
  4. ceritanya soo touching. tau bgt nih inti cerita ini :) stay strong ron! like i said to u before 'i always beside u when u needed me :)'

    BalasHapus
  5. thank u mom, thats what i need now, my bestfriends to make me up :')

    BalasHapus